N_da

Minggu, 20 Februari 2011

Kontemplasi Alfa

KONTEMPLASI ALFA
Masih ada detik berlalu, hati tanpa mengingat,
tersebut itu alfa.
Meski tak hanya sekali. Terus berulangkali.
Masih bisakah disebut alfa?
Khilaf? Alasan kamuflase.
Sampai kapan membiarkan hati mengkhilafkan diri?
Malu? Wajib!
Untuk mengingat saja masih sering lupa.
Padahal sudah lama tau,
kamu dan saya tak pernah benar-benar sendirian. Ada yang lebih dekat dari urat leher ini.
Siapa?
Coba tanyakan saja pada rumput yang bertasbih!
Mengingatlah wahai hati, kepada cintamu yang tak pernah lelah menjagamu dan memberimu kehidupan.

Kamis, 27 Januari 2011

POLIGAMI

POLIGAMI
A. Pengertian Poligami
Secara etimologis, poligami berasal dari bahasa yunani, yakni apolus yang artinya banyak dan gamos yang artinya kawin. Secara istilah yaitu perkawinan dimana seorang pria mengawini lebih dari seorang wanita pada waktu yang bersamaan. Pengertian ini juga yang tercantum dalam undang-undang no 1 tahun 1979 tentang perkawinan di indonesia.
Pengertian poligami,menurut dalam bahasa indonesia, adalah sistim perkawinan yang salah satu pihak memiliki/mengawini beberapa lawan jenis diwaktu bersamaan.
Para ahli membedakan istilah bagi sorang laki-laki yang mempunyai lebih dari seorang istri dengan istilah poligini yang berasal dari kata polus berarti banyak dan gune berarti perempuan. Sedangkan bagi seorang istri yang mempunyai lebih dari seorang suami disebut poliandri yang berasal dari kata polus yang berati banyak dan andros berati laki-laki.
Jadi,kata yang tepat bagi seorang laki-laki yang mempunyai isrti lebih dari seorang dalam waktu yang bersaman adalah poligini bukan poligami. Meskipun demikian, dalam perkatan sehari hari yang dimaksud dengan poligami yaitu adalah perkawinan seorang laki-laki dengan lebih seorang permpuan dalam waktu yang bersaman. Yang dimaksud poligini itu, menurut masyarakat umum adalah Poligami .
B. Dasar Hukum Poligami
Dasar pokok Islam yang membolehkan poligami adalah Firman Allah SWT dalam surat An-Nisa ayat 3 :
وان خفتم الا تقسطوا فى اليتمى فانكحوا ما طا ب لكم من النساء مثنى وثلث و رباع
فان خفتم الا تعدلوا فواحدة او ما ملكت ايمانكم ذالك ادنى الا تعوالوا
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap perempuan (yatim), maka kawinilah apa yang kamu senangi dari wanita-wanita (lain): dua-dua, tiga-tiga atau empat-empat. Lalu, jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka seorang saja, atau budak-budak wanita yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (Q.S. An-Nisâ’[4}: 3 ).
Ada beberapa hal yang perlu digaris bawahi pada ayat di atas: Pertama, ayat ini tidak membuat peraturan baru tentang poligami, karena poligami telah dikenal dan dilaksanakan oleh penganut berbagai syariat agama dan adat istiadat masyarakat. Ia tidak juga menganjurkan apalagi mewajibkanya. Ia, hanya berbicara tentang bolehnya poligami bagi orang-orang dengan kondisi tertentu. Itu pun diakhiri dengan anjuran untuk ber-monogami dengan firman-Nya: “Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”.
Adalah wajar bagi satu perundangan, apalagi agama yang bersifat universal dan berlaku untuk setiap waktu dan tempat, untuk mempersiapkan ketetapan hukum bagi kasus yang bisa jadi terjadi satu ketika, walaupun baru merupakan kemungkinan
Ayat tersebut merupakan kelanjutan tentang memelihara anak yatim, kemudian disebutkan tentang kebolehan beristri lebih dari empat. Karena erat hubungannya pemeliharaan anak yatim dengan beristri lebih dari satu sampai empat. Maksud ayat tersebut adalah jika seorang laki-laki merasa yakin tidak dapat berbuat adil kepada anak-anak perempuan yatim, maka carilah perempuan lain.
Dengan mengutip pendapat Muhammad Abduh, Nasruddin Baidan menjelaskan bahwa ada dua ide mendasar dalam surat al-nis’ayat 3 di atas, yaitu pertama, kebolehan berpoligami itu merupakan solusi dari problem sosial yang hidup ditengah masyarakat, dan problem tersebut telah mengakar di kalangan msyarakat. Dengan demikian, adat istiadat yang telah mengakar tersebut tidak mungkin untuk dihapus total oleh islam melainkan dengan memperbaharui aturan dan pelaksanaanya sedemikian rupa sehingga cocok dengan harta dan martabat kemanusian manusia. Kedua, anjuran untuk menikahi wanita lebih dari seorang bukan meupakan perintah mutlak namun bersifat kondisional. Muhammad Abduh memberikan istilah hukum sekunder untuk poligami bukan hukum primer.
Hal senada juga diungkapkan oleh Quraish Shihab dengan tegas bahwa ayat di atas tidak mewajibkan poligami atau menganjurkannya, ia hanya berbicara tentang bolehnya poligami dan itupun merupakan pintu darurat kecil yang hanya bisa dilalui saat amat diperlukan dan dengan syarat yang tidak ringan .
Dengan seperangkat aturan yang jelas dan persyaratan yang ketat untuk menikahi perempuan lebih dari seorang pada waktu yang bersamaan merupakan upaya islam untuk menjaga dan menghormati hak-hak kaum wanita agar mereka lebih terhormat dan tidak dipermainkan seperti boneka oleh tangan-tangan yang jahil. Satu hal yang pasti, poligami tidak akan mungkin dihapuskan dari peradapan manusia.
C. Batas Banyaknya Istri Sekali Pegang
Melihat kepada surat Annisa ayat 3 di atas, ada batasan-batasan yang diberikan, pertama: batas maksimal empat orang istri dan kedua: hanya boleh dilakukan jika mampu berlaku adil. Kalau tidak terpenuhi syarat tersebut dilarang melakukan poligami .
Syafii berkata : Telah ditunjukkan oleh Rasulullah sunnah Rasulullah sebagai penjelasan dari firman Allah, bahwa selain Rasulullah SAW, tidak ada seorangpun yang dibenarkan kawin lebih dari empat perempuan.
Pendapat Syafi’i ini menurut ijma’ para Ulama, kecuali yang diriwayatkan dari segolongan kaum Syiah, yang membolehkan kawin lebih dari empat orang istri, bahkan ada sebagian dari mereka berpegang kepada praktek Rasulullah SAW, tentang memadu lebih banyak dari empat orang istri sampai sembilan istri.
Malik meriwayatkan dalam Al-Muwatha’, Nasa’I dan Daruquthni dalam masing-masing kitab sunannya:
ان النبي ص م قال لغيلان ابن امية الثقفي وقد اسلم وتحته عشرة نسوة :
اختر منهن اربعا و فارق ساءراهن
“Bahwa Nabi berkata kepada Ghailan bin Umayyah ats-tsaqafi yang masuk Islam, padahal ia punya istri sepuluh, Beliau bersabda:“Pilihlah empat orang diantara mereka dan ceraikan yang lainnya””

D. Prosedur Poligami
Mengenai prosedur atau tata cara poligami secara resmi Islam memang tidak mengatur secara pasti, namun di Indonesia, dengan KHI (Kompilasi Hukum Islam) nya, telah mengatur hal tersebut.

1. Suami yang hendak beristri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari pengadilan agama, yang pengajuannya telah diatur dengan Peraturan Pemerintah.
2. Perkawinan yang dilakukan dengan istri kedua, ketiga, atau keempat tanpa izin dari pengadilan agama tidak mempunyai kekuatan embi .
Ketentuan dari pengadilan agama, seorang suami yang akan beristri lebih dari satu orang apabila.
1. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri.
2. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
3. Istri tidak dapat melahirkan keturunan .
Untuk memperoleh izin dari pengadilan agama harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut
1. Adanya persetujuan istri.
2. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka.
Dalam persoalan izin ini maka istri bisa diminta dengan bukti tulisan atau lisan pada sidang pengadilan agama.
Dalam hal istri tidak mau memberikan izin atas persetujuan kepada suaminya untuk beristri lebih dari satu orang berdasarkan salah satu alas an di atas, maka prosesnya dapat dilakukan di persidangan, dan bagi istri atau suami juga dapat melakukan banding atau kasasi.

E. Hikmah Poligami
Dengan menyimak hikmah-hikmah yang terkandung dalam poligami, hendaknya ada kemauan dari pihak pemerintah untuk memperhatikan lebih tentang permasalahan ini :
Diantara hikmahnya adalah :
1. Merupakan karunia Allah terhadap manusia, yaitu diperbolehkannya poligami membatasinya sampai empat.
2. Pepatah mengatakan bahwa kebesaran terletak pada keluarga yang besar pula, dan ini berimplikasi terhadap pembangunan agama. Jalan untuk mendapatkan jumlah yang besar hanyalah dengan perkawinan atau alternative lain dengan poligami
3. Adakalanya istri mandul atau sakit keras yang tidak memiliki harapan untuk sembuh, padahal dia masih ingin melanjutkan kehidupan berumah tangga, sementara suami menginginkan lahirnya anak yang sehat dan pintar dan seorang istri yang dapat mengurus rumah tangganya dengan baik.
4. Ada sebagian laki-laki yang memiliki dorongan seksual tinggi, yang merasa tidak puas dengan seorang istri, terutama bagi mereka yang tinggal di daerah tropis. Dari pada jatuh kepada perzinahan lebih baik diberikan jalan yang halal untuk memuaskan nafsunya dengan cara berpoligami .

KESIMPULAN
Poligami secara bahasa berasal dari bahasa yunani, yakni apolus yang artinya banyak dan gamos yang artinya kawin. Secara istilah yaitu perkawinan dimana seorang pria mengawini lebih dari seorang wanita pada waktu yang bersamaan.
Islam pada dasarnya membolehkan poligami berdasarkan firman-Nya:
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap perempuan (yatim), maka kawinilah apa yang kamu senangi dari wanita-wanita (lain): dua-dua, tiga-tiga atau empat-empat. Lalu, jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka seorang saja, atau budak-budak wanita yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (Q.S. An-Nisâ’[4}: 3 ).

Pendapat Syafi’I yang menyatakan tidak boleh beristri lebih dari empat adalah menurut ijma’ para Ulama, kecuali yang diriwayatkan dari segolongan kaum Syiah, yang membolehkan kawin lebih dari empat orang istri, bahkan ada sebagian dari mereka berpegang kepada praktek Rasulullah SAW, tentang memadu lebih banyak dari empat orang istri sampai embilan istri
Poligami di Indonesia mempunyai prosedur tertentu sebagaimana diatur dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam) meskipun di dalam islam tidak ada ketentuan pasti tentang poligami.

SARAN
1. Poligami bukanlah merupakan sebuah anjuran namun diperbolehkan maka seandainya ada diantara kita nantinya ingin melaksanakannya sebaiknya dipertimbangkan dulu matang-matang, karena berlaku adil itu bukanlah hal yang mudah dan konsekwensinya lebih besar.
2. Kalau ternyata poligami merupakan jalan yang mesti diambil dengan alasan-alasan jelas dan positif maka berusahalah bertindak seadil-adilnya karena suatu hadits yang diriwayatkan oleh Abi Hurairah menyatakan:
“Barang siapa yang mempunyai dua orang istri dan dia cendrung kepada salah seorang diantara keduanya, nanti di hari kiamat dia akan dating dalam keadaan bahunya miring”


DAFTAR PUSTAKA
Syarifuddinn, Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia; Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, Jakarta,Kencana 2009
Tihami, Fikih Munakahat; Kajian Fikih Nikah Lengkap, Jakarta, PT RajaGrafindo Persada,2009
Baidan, Nasruddin, Tafsir bi al-Ra’yi; upaya penggalian konsep wanita dalam al-Quran, Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 1999
Shihab, Quraish, Wawasan Al-quran, Jakarta,Mizan 2008
Sabiq, Sayyid, Fikih Sunnah, Bandung,PT Almaa’rif:1980
Uu no 1 1979 pasal 3 dan 4 dan pp no 9 tahun 1975 pasal 40
Kompilasi Hukum Islam
http://nagapasha.blogspot.com/2009/06/poligami.html

Kamis, 19 Agustus 2010

Pagi

kemilau asa di ufuk timur
menjanjikan sejuta keinginan
semula titik langkah perlahan
menjadikan bumi semaian harapan
selamat pagi
semoga hari ini menjadi harimu
gerimis tersapu cahya mentari
menebar hangat dalam pelukan
demikian cinta yang sederhana
tanpa pamrih mencintai dan dicintai
selamat beraktifitas …
tetes embun terakhir jatuh perlahan
seiring fajar menyapa dedaunan
dunia kecil bangun perlahan
menyambut asa hari ini

Jumat, 05 Maret 2010

Perkembangan Tarekat di Indonesia

Pada awalnya, negara yang mempengaruhi berkembangnya tarekat di Indonesia adalah India (Gujarat), dari sanalah Hamzah Fansuri, Syamsuddin as-Sumatrani (w. 1630) dan Nuruddin ar-Raniri belajar menimba ilmu dan mendapatkan ijazah serta menjadi khalifah. Namun pada abad-abad berikutnya, beberapa tarekat besar masuk ke Indonesia melalui Makkah dan Madinah. Dengan cara ini pula Tarekat Syattariyah yang berasal dari India berkembang di Makkah dan Madinah dan kemudian berpengaruh luas di Indonesia.

Shufi Indonesia yang pertama kali menulis karangan tentang tarekat adalah Hamzah Fansuri. Dari namanya saja kita tahu bahwa beliau berasal dari kota Fansur (sebutan orang Arab untuk kota Barus, kota kecil di pantai barat Sumatra yang terletak antara Sibolga dan Singkel). Dalam tulisannya, ia mengungkapkan gagasan nya melalui syair bercorak wihdatul-wujud yang cendrung kepada penafsiran panteistik.

Dalam syairnya Hamzah juga bercerita tentang kunjungannya ke Makkah, al-Quds, Baghdad (disana ia mengunjungi makam syekh ‘Abdul-Qadir al-Jilani) dan ke Ayuthia. Dalam syairnya juga ia mengaku menerima ijazah Tarekat Qadiriyah di Baghdad bahkan diangkat menjadi khalifah dalam tarekat ini. Dengan demikian jelaslah, bahwa Hamzah Fansuri (w 1590) adalah shufi pertama di Indonesia yang diketahui secara pasti menganut Tarekat Qadiriyah.

Tarekat Qadiriyah adalah tarekat pertama yang masuk ke Indonesia. Di Jawa, pengaruh tarekat ini banyak ditemui di daerah Cirebon dan Banten. Dan menurut cerita rakyat setempat, Syaikh ‘Abdul-Qadir al-Jilani pernah datang ke Jawa, bahkan mereka dapat menunjukkan letak kuburannya. Indikasi lain tentang pengaruh Tarekat Qadiriyah di Banten adalah, adanya pembacaan kitab manaqib syekh ‘Abdul-Qadir al-Jilani pada acara-acara tertentu di kehidupan beragama masyarakat disana.

Pendiri Tarekat Syadziliyyah adalah syekh Ali bin Abdullah bin Abdul-Jabbar Abul Hasan as-Syadzili (w. 1258). Silsilah keturunannya bergaris sampai kepada saidina Hasan bin Ali bin Abi Thalib ra. Beliau
sendiri pernah menulis silsilah keturunannya sebagai berikut : Syekh Ali bin Abdullah bin Abdul Jabbar bin Yusuf bin Ward bin Batthol bin Ahmad bin Isa bin Muhammad bin Hasan bin Ali bin Abi Thalib ra. Amalan utama dari tarekat ini pun masih dapat dirasakan hingga saat ini yaitu hizbul-bahr yang diyakini sangat memberi pengaruh yang kuat bagi pengamalnya. Tokoh tarekat Syadziliyah yang terkenal antara lain Ibnu ‘Athoillah as-Sakandari, dan ‘Abdul-Wahhab as-Sya’rani.

Shufi lain yang juga terkenal di Indonesia adalah Syamsuddin (w.1630), murid Hamzah Fansuri yang banyak menulis kitab dalam bahasa Arab dan Melayu. Dia perumus pertama ajaran martabat tujuh di nusantara serta metode pengaturan nafas pada saat ber-dzikir ( yang dianggap sebagai pengaruh yoga pranayama dari India ). Ajaran martabat tujuh merupakan adaptasi dari teori emanasi Ibnul-‘Arabi yang sangat populer di Indonesia. Ajaran ini berasal dari seorang ulama besar asal Gujarat bernama Muhammad bin Fadhlullah Burhanpuri pengarang kitab at-Tuhfatul-Mursalah ilaa Ruuhin-Nabi. Tapi Nuruddin ar-Raniri dalam kitabnya Hujjatus-Shiddiq li daf’iz-Zindiq menganggap, bahwa ajaran martabat tujuh Syamsuddin termasuk ajaran wihdatul wujud yang dianggap menyimpang.

Syamsudin sendiri berafiliasi dengan Tarekat Syattariyah seperti halnya Burhanpuri, bahkan Tarekat Syattariyah menjadi sangat populer di Indonesia sesudah wafatnya. Tidak diketahui secara jelas kapan tahun kelahirannya, tetapi dalam kitab Bustanus-Salatin karya Nuruddin, Syamsuddin wafat tahun 1039 H (1630 M).

Shufi selanjutnya adalah Nuruddin ar-Raniri. Nama lengkapnya adalah Nuruddin bin Ali bin Hasanji bin Muhammad Hamid ar-Raniry, berasal dari keluarga Arab Ranir Gujarat. wafat tahun 1068/1658. Ibunya orang Melayu, ayahnya imigran dari Hadromaut. Ar-Raniry pernah menjabat Syaikhul-Islam atau mufri di kerajaan Aceh pada pemerintahan Sultan Iskandar Tsani dan Sultanah Shofiatud-Din.

Ar-Raniri menetap di Aceh selama tujuh tahun (1637 – 1644) sebagai mufti dan penulis produktif yang menentang doktrin wihdatul wujud. Ia mengeluarkan fatwa untuk memburu orang yang dianggap sesat, membunuh orang yang menolak bertobat dari kesesatan, serta membakar buku-buku yang berisi ajaran sesat. Pada tahun 1054/1644 ar-Raniry meninggalkan Aceh kembali ke Ranir karena mendapatkan serangan balik dari lawan-lawan polemiknya, yaitu murid-murid Syamsuddin yang dituduh menganut paham Panteisme. Sebagai seorang shufi, ar-Raniry juga memiliki banyak keahlian, ia menguasai ilmu teologi, fiqh, hadits, sejarah, perbandingan agama, dan politik. Dalam ber-tarekat, ia mengamalkan Tarekat Rifa’iyah dan menyebarkan ajaran tarekat ini ke wilayah Melayu, selain itu ia juga menganut tarekat Aydrusiyah dan Qadiriyah. Ia banyak menulis kitab tentang ilmu kalam dan tasawuf, menganut aliran tauhid Asy’ariyah, dan paham wihdatul-wujud yang lebih sedikit moderat.

Ar-Raniry tercatat sebagai tokoh shufi terakhir yang membawa pengaruh bagi semua tarekat yang berkembang di Indonesia dan berasal langsung dari India. Sepeninggalnya, cabang-cabang tarekat dari India berkembang dulu di Makkah-Madinah, kemudian di bawa ke Indonesia, diantaranya adalah Tarekat Syattariyah yang dibawa oleh murid utamanya, syekh Abdul Rauf Singkel.

Syekh Abdul Rauf belajar di Makkah selama 19 tahun dengan guru-guru tarekat, diantaranya adalah syekh al-Qusyasyi, Ibrahim al-Kurani, serta puteranya syekh Muhammad Thahir di Madinah. Sekembalinya dari Makkah tahun 1661, ia menjadi ahli fiqh terkenal di Aceh dan seorang shufi yang menyeimbangkan pandangan para pendahulunya dalam mengajarkan zikir dan wirid tarekat Syattariyah. Muridnya menyebarkan tarekat ini ke Sumatera Barat melalui syekh Burhanuddin Ulakan, serta ke Jawa melalui syekh Muhyidin dari Pemijahan yang sampai sekarang ajarannya masih diamalkan di sana.

Al-Qusyasyi (w. 1660) dan al-Kurani (w. 1691) mewakili perpaduan antara tradisi intelektual shufi India dengan Mesir. Keduanya adalah pewaris syekh Zakariya al-Anshori dan ‘Abdul-Wahab as-Sya’rani dalam bidang fiqh dan tasawuf, sekaligus menjadi pengikut sejumlah tarekat di India, yang paling berpengaruh adalah Tarekat Syattariyah dan Naqsyabandiyah. Kedua tarekat ini pada mulanya diperkenalkan di Madinah oleh seorang Syaikh India bernama Sibghatullah pada tahun 1605.

Di antara kedua tarekat yang diajarkan, ternyata Tarekat Syattariyah banyak diminati oleh murid-murid dari Indonesia, padahal di Timur Tengah sendiri, kedua syaikh ini lebih dikenal orang sebagai penganut Tarekat Naqsyabandiyah. Keduanya merupakan ulama paling terkenal di kalangan murid yang berasal dari Indonesia. Dan selama beberapa generasi, murid-murid dari Indonesia belajar kepada pengganti al-Kurani dan berbaiat menjadi pengikut Tarekat Syattariyah, karena tarekat ini relatif lebih mudah jika dipadu dengan berbagai tradisi nusantara, sehingga menjadi tarekat yang paling “mem-bumi”, terlebih lagi ajaran martabat tujuh yang menjadi bagian dari kepercayaan populer orang Jawa.

Ulama lain yang sezaman dengan syekh Abdul Rauf adalah syekh Yusuf al-Makasari (1626 – 1699) penulis kitab ar-Risalah an-Naqsyabandiyah. Kitab ini memberi kesan bahwa syekh Yusuf benar-benar mengajarkan tarekat ini di Makasar. Kitab ini berisi antara lain tentang tekhnik meditasi dalam berdzikir. Syekh Yusuf mempelajari Tarekat Naqsyabandiyah di Yaman melalui Syaikh Muhammad Abdul Baqi, kemudian berguru lagi kepada syekh Ibrahim al-Kurani tokoh Naqsyabandi di Madinah. ( walaupun al-Kurani di Indonesia lebih dikenal sebagai syaikh Tarekat Syattariyah yang mengirim Abdul Rauf Singkel sebagai khalifah untuk menyebarkan Tarekat Syattariyah di Indonesia ). Selanjutnya di Damaskus, ia berguru lagi dan berbaiat menjadi khalifah Tarekat Khalwatiyah dan mendapat izin ijazah untuk mengajarkan tarekat ini. Barangkali beliau-lah orang pertama yang memperkenalkan Tarekat Khalwatiyah di Indonesia. Di Sulawesi tarekat ini disebarkan oleh salah seorang muridnya yang bernama Abdul Basir ad-Dharir al-Khalwati yang lebih terkenal dengan nama Tuang Rappang I Wodi.

Dalam pengembaraan ilmiahnya, syaikh Yusuf al-Makassari banyak memperoleh ijazah dari sejumlah tarekat, di antaranya adalah Tarekat Naqsyabandiyah, Qadiriyah, Syattariyah, Ba’alawiyah, Khalwatiyah, juga pernah menjadi pengikut Tarekat Dasuqiyah, Syadziliyah, Chistiyah, ‘Aydrusiyah, Ahmadiyah, Kubrawiyah dan beberapa tarekat lainnya. Ketika pulang ke Indonesia tahun 1670 dia mengajarkan ajaran spiritual, yang ternyata merupakan gabungan antara teknik spiritual Khalwatiyah dengan berbagai tekhnik dari tarekat-tarekat lainnya. Dan tarekat ini sekarang mengakar dan banyak diamalkan orang di Sulawesi Selatan, terutama di kalangan para bangsawan Makasar.

Abad berikutnya, orang orang Indonesia yang bermukim di Arab tertarik dengan ajaran syekh Muhammad bin Abdul Karim as-Samman (w. 1775) ulama Madinah, Tarekat Sammaniyah merupakan gabungan dari tarekat Khalwatiyah, Qadiriyah, Naqsyabandiyah dan Syadziliyah. Syekh Muhammad Samman mengembangkan cara berzikir baru yang ekstatik dan menyusun sebuah ratib (doa-doa) sendiri. Secara formal tarekat ini merupakan salah satu cabang dari Tarekat Khalwatiyah, karena silsilah syekh Samman hanya melalui gurunya yaitu syekh Musthafa al-Bakri, pengamal tarekat Kholwatiyah, Walaupun demikian ia telah menjadi sebuah tarekat tersendiri dengan zawiyah sendiri dan dengan pengikut lokal ketika syaikh-nya masih hidup. Murid syekh Samman yang paling terkenal adalah syekh Abdus Shomad al-Palimbani, pengarang sejumlah kitab-kitab penting berbahasa Melayu.

Beberapa ulama di Palembang berafiliasi dengan tarekat ini, sehingga tarekat ini mendapat kedudukan yang kokoh di kesultanan Palembang, bahkan Sultan Palembang telah menyediakan sejumlah dana yang cukup besar untuk membangun zawiyah syekh Samman di Jeddah. Sesudah syaikh Samman wafat, orang-orang Indonesia yang bermukim di Arab, belajar tarekat ini dari khalifahnya yang bernama Shiddiq bin Umar Khan. Ulama Indonesia yang menyebarkan tarekat ini adalah syekh Nafis al-Banjari dengan karyanya ad-Durrun-Nafis dalam bahasa Melayu, ia menyebarluaskan tarekat ini di Kalimantan. Syekh Nafis al-Banjari juga mengamalkan berbagai tarekat, seperti Tarekat Qadiriyah, Syattariyah, Naqsyabandiyah, Khalwatiyah dan Sammaniyah.

Tarekat Tijaniyyah didirikan oleh Syaikh Ahmad bin Muhammad at-Tijani (1150 – 1230 H/ 1737 – 1815 M) yang lahir di ‘Ainu Madi, Aljazair Selatan, dan meninggal di Fez, Maroko, dalam usia 80 tahun. Perkembangan yang cukup pesat dari tarekat ini ternyata mampu menyaingi otoritas Utsmaniyyah, sehingga syekh Ahmad dan para pengikutnya dipaksa meninggalkan Aljazair. Syekh Ahmad at-Tijani pindah ke Fez pada tahun 1798, dan hidup disana hingga beliau wafat. Ketika bangkit gerakan Wahhabiyah yang memusuhi kaum shufi dan membenci pengamal tarekat yang cendrung menjauhi dunia dan suka melestarikan tradisi penghormatan terhadap makam syaik-syaikh mereka, tarekat Tijaniyyah justru berkembang pesat. Bahkan perkembangan tarekat ini semakin pesat terutama setelah mendapat dukungan dari raja Maroko, Maula Sulaiman yang berkepentingan mendekati syekh Ahmad untuk menghadapi pesaingnya dari zawiyah para syarif yang dinilai dapat merongrong kekuasaannya.

Tarekat Tijaniyyah masuk ke Indonesia pada tahun 20-an, dan banyak mendapatkan pengikut terutama di pulau Jawa dan Madura. Pengikut tarekat Tijaniyah berkeyakinan, bahwa tarekat Tijaniyah adalah tarekat yang terbaik, karena memiliki keunggulan dan keutamaan yang tidak dimiliki oleh tarekat-tarekat lainnya. Tentang keistimewaan dan keunggulan tarekat ini, nanti akan kami jelaskan secara terperinci di dalam buku ini.

Di Sulawesi Selatan, tarekat Sammaniyah bertemu dengan Tarekat Khalwatiyah. Keduanya bersaing dan saling mempengaruhi sehingga pada akhirnya bergabung menjadi tarekat Khalwatiyah Sammaniyah. Tarekat ini berkembang sedikit berbeda dengan ritual tarekat Sammaniyah lainnya di nusantara, dan keanggotaannya terbatas pada kelompok etnis Bugis saja.

Qadiriyah wa Naqsyabandiyah merupakan tarekat gabungan serupa dengan Sammaniyah, yakni teknik spiritual Tarekat Qadiriyah dan Naqsyabandiyah menjadi unsur utama yang ditambah dengan unsur-unsur tarekat lain. Tarekat ini merupakan satu-satunya tarekat yang didirikan oleh ulama asli Indonesia syekh Ahmad Khatib Sambas (Kalimantan Barat) yang lama belajar di Makkah dan sangat dihormati. Ia ahli dalam bidang fiqh, konsep ketuhanan dan amalan-amalan shufi. Ia mempunyai banyak pengikut dan menjadi guru Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah sebagai tarekat paling populer di Indonesia. Ketika ia wafat tahun 1873, khalifahnya syekh Abdul Karim dari Banten menggantikannya sebagai syaikh tarekat ini. Dua orang khalifah utama lainnya adalah Kiyai Tolhah dari Cirebon dan Kiyai Ahmad Hasbullah dari Madura.

Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah merupakan salah satu dari dua tarekat yang memiliki jumlah pengikut terbesar di seluruh Indonesia. Tarekat lainnya adalah Naqsyabandiyah Kholidiyah yang tersebar berkat zawiyah yang didirikan oleh syekh Abdullah al-Arzinjani di Jabal Abu Qubais Makkah. Para penggantinya, yaitu Sulaiman al-Qarimi, Sulaiman al-Zuhdi dan Ali Ridho menyebarkan tarekatnya kepada orang-orang Indonesia yang mengunjungi Makkah dan Madinah dalam jumlah yang lebih besar lagi selama abad ke-19. Ribuan orang dibaiat menjadi pengikut tarekat ini dan menjalani latihan berkhalwat di zawiyah tersebut. Di tempat ini pula puluhan orang Indonesia menerima ijazah untuk mengajarkan tarekat ini di kampung halamannya masing-masing.

Tarekat Chisytiyah, sebuah tarekat kelahiran India, yang didirikan oleh syaikh Mu’inad-Din Chisyti (w. 1236). Awalnya, tarekat ini berideologi Sunni, (walaupun akhir-akhir ini banyak diamalkan oleh kaum Syiah). Hal ini terbukti bahwa para pengikut tarekat Chisyti di India menjadikan kitab ‘Awariful-Ma’arif karya syaikh Syihabuddin Abu Hafs Umar Suhrawardi sebagai kitab pegangan mereka. Kitab itu menjadi dasar bagi para guru tarekat Chisytiyah dalam mengajar murid-muridnya. Selain itu, kitab Khasyful-Mahjub karya al-Hujwiri juga sangat populer digunakan oleh kaum Chisti. Bahkan Syaikh Nizomuddin Auliya pernah berkata : “Seorang salik yang tidak memiliki referensi spiritual, maka kitab Kasyful-Mahjub sudah cukup baginya untuk dijadikan pegangan”.

Tarekat Mawlawiyah kelahiran Turki ini dikenal luas, baik di negeri Muslim maupun di Barat, terutama melalui ‘whirling darvish’ nya. Dengan ‘matsnawi’-nya, Maulana Jalaluddin Rumi (w. 1273) menjadikan puisi-puisi karangannya sebagai salah satu pusat inspirasi spiritual. Orientalis yang sangat berjasa dalam memperkenalkan tarekat Rumi ke dunia Barat adalah Reynold A. Nicholson yang bukan hanya meng-edit secara kritis semua naskah matsnawi, tetapi juga menerjemahkan seluruh naskah tersebut (sebanyak 6 jilid) ke dalam bahasa Inggris. Dia juga telah menerjemahkan kitab Divani Syam-i Tabriz. Sedangkan karya Rumi yang lain Fihi Ma Fihi telah diterjemahkan oleh Arberry dengan judul Discourse of Rumi. Tokoh lain yang sangat berjasa dalam memperkenalkan Rumi ke dunia Barat adalah Prof. Annemarie Schimmel (w. 2003), yang telah menulis dengan penuh penghargaan dan kebanggaan tentang karya-karya Rumi, seperti I am Wind You Are Fire, The Life and Work of Rumi, dan The Triumphal Sun, A Study of The Works of Jalaludin Rumi.

Tarekat Ni’matullohi, tarekat kelahiran Iran yang telah populer, baik di tanah kelahirannya maupun di dunia Barat. Tokoh tarekat ini adalah Javad Nurbakhsy yang cukup produktif menulis karya-karyanya. Saat ini, tarekat Ni’matullah mempunyai banyak pengikut di Amerika Serikat, Eropa, dan khususnya di Persia (Iran). Dalam ajarannya, tarekat ini lebih menekankan persaudaraan dan kesetaraan seluruh umat manusia, penghormatan tanpa prasangka buruk, juga pengabdian dan cinta kasih kepada sesama manusia tanpa mempedulikan perbedaan keyakinan, budaya, dan kebangsaan. Dalam tarekat ini, praktik tasawuf bertujuan menciptakan kepribadian lahiriah yang sangat etis, dan membimbing hati untuk menghimpun berbagai kwalitas dan keutamaan. Ajaran tasawuf harus bertujuan membidik realitas muslim agar dapat dibangkitkan perasaan cinta kasihnya, sehingga mampu menyatukan para pemeluk dari pelbagai agama dan keyakinan. Dengan energi tasawuf inilah, segala perbedaan dan perselisihan sektarian harus dihilangkan, karena seorang shufi harus mengarahkan perhatiannya hanya kepada wilayah keesaan Ilahi (tauhid), sehingga setiap orang merasa sama dalam persaudaraan kemanusiaan.

Terakhir, tarekat Sanusiyah didirikan oleh Muhammad bin ‘Ali as-Sanusi (1787 – 1859), pengarang kitab as-Salsabil ul-Ma’in fit-Tharo’iqil-Arba’in dan al-Masa’ilul-‘Anshar. Melalui kitab ini sejumlah tarekat mu’tabaroh disebut dan dijelaskan. Kedua kitab ini termasuk bahan rujukan yang digunakan oleh Jam’iyah Ahlith-Thoriqoh Mu’tabaroh An-Nahdliyyah. Syekh as-Sanusi telah mendirikan sebuah zawiyah di Abu Qubais Makkah, tapi beliau terpaksa meninggalkan Makkah pada tahun 1840 dan kemudian tinggal di sebuah bukit yang bernama Jabal Akhdar di daerah Curenaica.

Demikianlah sekilas tentang perkembangan sebagian ajaran tarekat yang masuk ke Indonesia, di samping tarekat-tarekat lain yang tidak kami sebutkan, disebabkan kurang berkembang dan tentunya kurang banyak diminati oleh orang.

 
Free Blogger Templates